Thursday, July 28, 2011

Mengecap Sejarah di Sangiran dan Jogjakarta (Bag. II)

Jogjakarta
Kami sampai di Jogja sekitar pukul setengah satu siang, turun di P.O. bus Sumber Alam untuk membeli tiket pulang (AC, non toilet, rp 110.000) nantinya ke Jakarta. Setelah itu, menuju ke Pasar Kembang dengan bus ¾ (rp 2.500 per orang). Sesampainya di Pasar Kembang, kami langsung menuju kios-kios penyewaan motor yang berderet sepanjang jalan. Kami memilih Ana Rental berdasarkan rekomendasi yang banyak saya baca di blog dan forum di internet. Kami menyewa motor bebek, yang cocok untuk medan perjalanan daerah pegunungan, untuk 2 hari, seharga rp 50.000 per hari.

Untuk mengejar waktu, kami langsung menuju ke Hotel Puspita di Jl. Mayjend Sutoyo No. 64 (telp. +62 274 371065) yang telah kami pesan lewat telepon sebelumnya untuk 2 malam (rp 75.000 per malam, 2 single bed dengan kipas angin, kamar mandi dalam). Letak hotel cukup strategis, hanya sekitar 10 menit dari Pasar Kembang, dengan suasana relatif sepi, sehingga lebih nyaman untuk beristirahat. Bangunan hotel berupa rumah Joglo bercat hijau muda terang, bertambah asri ketika kita masuk ke dalamnya, terdapat pepohonan rindang di tengah bangunan. Kamarnya memang sederhana, namun bersih. Ketika kami datang, teh manis hangat segera disuguhkan. Setelah check in, kami bergegas menaruh ransel yang mulai terasa membebani pundak, lalu siap melanjutkan perjalanan kembali.

Tujuan berikutnya adalah Candi Prambanan yang ditempuh selama 30 menit dengan motor. Sebelum sampai di tujuan, kami menyempatkan untuk makan di sebuah warung makan yang kami lewati, karena sudah hampir jam 3 tapi perut belum diisi sama sekali. Kami memesan soto ayam tanpa berharap apapun mengenai rasanya. Namun, tak disangka-sangka, sotonya enak sekali! Masing-masing kami sampai menghabiskan 2 mangkuk. Dan lebih mencengangkannya lagi, 4 mangkuk soto plus kerupuk serta teh manis hanya menghabiskan rp 12.000! Hal ini tidak akan terjadi kalau saya makan di Jakarta! Setelah energi kami terisi kembali, perjalanan menuju Prambanan dilanjutkan.

Sampai di Candi Prambanan (Jl. Adisutjipto/Jl. Solo, jam buka: 09.00-16.00), kami membayar tiket masuk rp 15.000 per orang dan tiket kamera sebesar rp 2.000. Candi Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara dan sejak tahun 1991 masuk ke dalam daftar situs yang dilindungi oleh UNESCO. Selama berdirinya, candi Prambanan telah banyak melalui tahap renovasi. Saat kami ke sana, beberapa candi sedang dalam tahap renovasi pasca gempa Mei 2006 yang mengguncang Jogja.
Saya pribadi sangat menyukai arsitektur candi Hindu yang karakternya menurut saya lebih feminin dan cantik. Di kompleks Candi Prambanan, terdapat 8 candi utama dan 250 candi kecil. Salah satu candi utamanya yang terkenal adalah Loro Jonggrang. Relief yang terpahat di candi menggambarkan wiracarita Ramayana. Selain itu, terdapat pula museum yang menyimpan benda bersejarah.

Karena hari sudah menjelang senja, kami tidak memasuki museum, dan melanjutkan perjalanan kami yang terakhir di hari ini, yakni Situs Ratu Boko yang berjarak hanya 3 km dari Prambanan.


Situs Ratu Boko keberadaan awal dan fungsi pastinya masih belum diketahui. Namun, menurut perkiraan para ahli, bangunan tersebut berdiri pada abad ke-8 M pada jaman dinasti Syailendra. Pada awalnya, bangunan ini digunakan oleh para pendeta Buddha untuk beribadah. Kemudian pada abad ke-9 M, berubah fungsi menjadi kediaman Raka Walainh Pu Khumbayoni yang beragama Hindu, menjadikan tempat tersebut berupa keraton/istana. Dapat dilihat dari sisa peninggalan sejarah di situs ini berupa gerbang masuk, pendopo, hingga kolam pemandian dan gua-guanya khas kerajaan Hindu, serta ada pula beberapa arca dan stupa Buddha. Nama Ratu Boko sendiri berasal dari legenda masyarakat setempat (Ratu Boko artinya ‘raja bangau’) yang dipercaya sebagai ayah dari Loro Jonggrang.

Memasuki Situs Ratu Boko, kita harus membayar tiket sebesar rp 10.000 per orang. Situs ini terletak di puncak bukit, untuk mencapainya, kita bisa menaiki anak-anak tangga yang tersedia. Dari titik ini, kita bisa melihat pemandangan kota Jogja dan Gunung Merapi. Menyaksikan cantiknya matahari terbenam dari puncak perbukitan disertai aura sejarah yang sangat kental, sungguh perasaan kagum yang tak ternilai.


Begitu matahari terbenam seluruhnya, kami kembali ke hotel untuk mandi dan beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari kuliner khas Jogja yang terkenal: Sate Klathak. Penjual Sate Klathak banyak terdapat di daerah Pasar Jejeran, Imogiri. Berdasarkan rekomendasi dari beberapa orang, salah satu yang enak adalah Warung Sate Pak Jito. Agak sulit mencari letak warungnya dikarenakan minimnya penerangan jalan di malam hari.

Sampailah kami di warung sederhana milik Pak Jito. Kami memesan Sate Klathak (rp 10.000 per porsi) dan teh manis hangat (tampaknya teh manis adalah minuman ‘resmi’ di Jogja). Pembuatan sate terasa lebih lama dibandingkan dengan sate pada umumnya. Sate Klathak adalah potongan tebal daging kambing yang hanya diberi garam, kemudian ditusuk memakai jeruji sepeda ontel (karena lebih kuat dibandingkan tusuk bambu), lalu dibakar. Disajikannya tanpa bumbu apapun dan sudah dalam keadaan terlepas dari tusuknya. Saya pribadi tidak cocok dengan rasanya yang terlalu amis khas kambing. Namun, bagi penggemar sejati masakan kambing, mungkin menggemarinya.

Hari kedua di Jogja, jam 5.30 pagi kami sudah berangkat ke Borobudur (jam buka: 06.00-17.00). Perjalanan ditempuh selama kurang dari 1 jam. Udara pagi dan lengangnya jalanan berbukit-bukit sungguh menyegarkan. Begitu sampai di sana, kami menyempatkan diri untuk sarapan di salah satu warung makan yang banyak terdapat di pelataran pintu masuk kompleks candi.

Setelah membayar uang tiket sebesar rp 15.000 per orang dan rp 2.000 untuk kamera, kami memasuki kompleks candi yang sangat luas. Dikarenakan saat itu adalah hari Minggu, pengunjung candi cukup ramai. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar abad ke-9 M pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar, dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Pada tahun 1991, Borobudur dimasukkan ke dalam daftar situs warisan dunia yang dilindungi UNESCO.

Destinasi berikutnya adalah Candi Mendut yang letaknya hanya 3 km di timur kompleks Candi Borobudur. Tiket masuk ke candi ini hanyalah rp 500 per orang. Candi yang dibangun pada abad ke-9 M ini, berbeda dengan Candi Borobudur dan Prambanan, bukanlah berupa kompleks megah, letaknya pun di tempat terbuka di pinggir jalan. Candi ini hanya berupa candi utama dengan dikelilingi stupa-stupa kecil. Di dalam candi utama terdapat 3 patung Buddha berukuran besar. Para pengunjung dapat berdoa di sini.

Tak perlu waktu lama bagi kami memutari Candi Mendut, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Ullen Sentalu (Jam buka: 09.00-16.00) yang berada di Kaliurang. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh, perlu waktu sekitar 1 jam untuk sampai di tempat. Namun, dengan medan jalan berupa pegunungan, kelelahan fisik dapat berkurang sedikit. Memasuki kawasan Kaliurang, kita diwajibkan membayar retribusi (rp 3.000 per orang dan rp 500 untuk kendaraan motor roda 2).


Museum Ullen Sentalu adalah museum swasta yang diresmikan tahun 1997, terletak di Jl. Boyong, Kaliurang. Dengan tiket masuk rp 25.000 per orang, kita dapat menikmati museum cantik yang menyajikan kebudayaan Jawa dengan konsep yang lebih hidup ini. Untuk memasuki museum, pengunjung dibatasi per rombongan (sekitar 10 orang) tiap masuk, yang kemudian akan diantar oleh seorang pemandu. Hal ini demi kenyamanan pengunjung selama menikmati museum dan juga untuk efektivitas penyampaian pesan oleh pemandu museum.

Saya jatuh cinta pada museum ini. Saya bisa merasakan atmosfer romantisme budaya Jawa, ditambah lagi suasana alami dari hutan yang mengelilingi museum. Museum ini memiliki beberapa ruang pamer yang dipisahkan sesuai temanya dengan penyajian koleksi yang terasa lebih personal. Koleksi yang ada antara lain seni dan alat musik tradisional Jawa, kain batik, surat pribadi, karya puisi, serta foto-foto anggota keluarga kasunan. Selama di ruang pameran, pengunjung tidak diperbolehkan mendokumentasikan koleksi museum.

Setelah diajak berkeliling, para tamu disuguhi minuman tradisional kegemaran ratu kasunan yang dipercaya mempunyai khasiat awet muda. Yang saya rasakan hanyalah air jahe manis hangat biasa. Setelahnya, pengunjung dipersilakan untuk menikmati areal sekitar museum. Di sekitarnya, banyak terdapat patung yang memadukan gaya gothic dan budaya Jawa.

Kami mencicipi hidangan di restoran Beukenhof yang terdapat di tingkat atas suatu bangunan bergaya kolonial Belanda. Hidangan yang ditawarkan adalah perpaduan Belanda dan Jawa. Kami memesan menu steak dengan harga yang relatif murah untuk sebuah restoran sekelasnya, rasanya pun cukup lezat. Total makan siang kami rp 118.000.

Selesai makan, perjalanan kami lanjutkan ke Taman Sari (Jl. Taman, Kraton, Jogja, jam buka: 09.00-15.30), dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Kami sampai di sana tepat ketika loket museum akan tutup (tiket masuk rp 2.000 per orang). Hari itu Taman Sari ramai sekali, selain para pengunjung yang datang, di sana sedang ada syuting FTV. Cukup disesalkan syuting tersebut mengambil waktu saat hari libur, menyebabkan pengunjung menjadi tidak leluasa untuk mengeksplor situs dikarenakan dipakai untuk kebutuhan syuting.


Taman Sari dahulu merupakan taman istana keraton Jogjakarta yang dibangun saat pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Meskipun keadaannya saat ini cukup memprihatinkan, namun bangunan berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah tanah, masih menyisakan kecantikannya.


Selain kondisi bangunan yang kurang terawat, banyaknya remaja-remaja yang nongkrong dan berpacaran terasa cukup mengganggu pengunjung yang bertujuan menikmati peninggalan bersejarah ini. Selain itu, perlu adanya penertiban warga lokal yang memaksa menjadi pemandu situs. Kami memutuskan untuk berkeliling sendiri, dan berbincang dengan bocah penduduk yang sedang bermain di sekitar situs. Bocah-bocah itu dengan semangat memberikan info kepada kami, salah satunya menunjukkan jalan masuk ke lorong bawah tanah yang agak tersembunyi.


Ketika hari sudah semakin sore, kami meninggalkan Taman Sari dan berputar-putar kota Jogja untuk membeli oleh-oleh. Malam harinya, kami kembali mencoba kuliner khas Jogja: Oseng-Oseng Mercon. Salah satu yang paling direkomendasikan adalah Oseng-Oseng Mercon Bu Narti di Jl. K.H. Ahmad Dahlan (di depan toko Bumi Asih). Hanya dengan rp 6.000 seporsi, kita bisa menikmati dahsyatnya kepedasan oseng daging dan jeroan. Saya sebagai pecinta makanan pedas, sangat suka masakan ini.

Dengan sisa-sisa lidah yang terbakar cabai, kami beranjak dari warung Bu Narti menuju ke Malioboro untuk melihat-lihat suasana. Saya kurang suka di sana karena terlalu ramai dan sesak. Di sana kami bertemu dengan rombongan teman yang kebetulan sedang berkunjung ke Jogja juga. Mereka mengunjungi daerah pantai-pantai di Jogja yang awalnya ada di rencana perjalanan saya, namun karena keterbatasan waktu, terpaksa saya eliminasi.

Dari Malioboro, kami ke Pasar Kembang untuk mengembalikan motor sewaan. Setelah itu, kami kembali ke penginapan dengan becak. Menikmati kota Jogja di malam hari di atas becak=priceless. Dan dengan demikian, berakhirlah petualangan ziarah sejarah kami di Sangiran dan Jogja. Kuatnya pikatan Jogja membuat kami berjanji akan kembali lagi ke sana.

Wednesday, July 27, 2011

Mengecap Sejarah di Sangiran dan Jogjakarta (Bag. I)


Sangiran Perjalanan ini berlangsung pada bulan Agustus 2009. Berawal dari obsesi masa kecil saya ketika duduk di bangku sekolah dasar, saat mengenal nama situs purbakala Sangiran dan melihat foto-fotonya tercetak sederhana di buku pelajaran Sejarah. Di sana terdapat situs penemuan fosil manusia purba, hewan bertulang belakang, hewan air, dan alat-alat bantu peradaban manusia purba.Di situs ini ditemukan fosil dari nenek moyang manusia pertama, Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa"). Fosil lainnya, di antaranya fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di situs tersebut. Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.

Bertolak dari Jakarta dengan bus AC Blue Star jurusan Solo dengan tarif rp 110.000, perjalanan ditempuh selama 12 jam dan sepanjang perjalanan, kami ditemani oleh video karaoke dangdut remix yang dimainkan di TV bus. Saya dan seorang partner perjalanan, turun di pertigaan Kalijambe, kemudian ke arah Desa Krikilan yang berjarak 5 km. Di sana kita akan menemui perempatan dengan arah: kanan ke Museum Sangiran berjarak 1 km, lurus ke Dusun Sangiran berjarak 100 m, dan kiri ke sumber air asin Dusun Pablengan. Dari pertigaan Kalijambe ke Museum Sangiran bisa dicapai dengan ojek sekitar rp 10.000 atau naik angkutan desa rp 2.000 perorang. Ketika saya sampai di sana, matahari baru terbit, sehingga ojek ataupun angkutan desa belum ada. Namun, saat di bus Jakarta-Solo yang kami naiki sebelumnya, kami berbincang dengan seorang pemuda yang berasal dari Sangiran, ia berbaik hati menawarkan kami untuk turut serta mobil angkutan umum yang dicharter oleh keluarga yang menjemputnya.

Sesampainya di Museum Sangiran, alangkah terkejutnya saya dengan kemoderenan museumnya. Bangunannya adalah bangunan baru yang megah dengan selasar berkelok-kelok naik turun. Ternyata, museum sedang direnovasi besar-besaran. Tiket masuk museum sebesar rp 3.000 perorang.

Di dalamnya, terdapat sejumlah ruang pamer yang banyak di antaranya masih belum jadi seutuhnya. Museum Sangiran mempunyai puluhan ribu koleksi fosil, namun hanya sebagian kecilnya saja yang dipamerkan dikarenakan belum rampungnya pembangunan museum. Selain memajang fosil-fosil manusia dan hewan purba, serta alat-alat bantu peradaban purba, di sana juga terdapat diorama kehidupan purba.


Mungkin sebagai saran bagi pihak museum, agar cara penyajian benda koleksi dibuat lebih menarik lagi. Selain itu, tata lampu di dalam ruang pamer yang kurang bagus, hendaknya diperbaiki agar pengunjung dapat lebih nyaman menikmati museum.

Alam pegunungan sekitar museum masih terasa adanya sentuhan purba. Hal tersebut menangkap imajinasi saya untuk membayangkan adanya kehidupan purba berlangsung di tempat itu.

Setelah puas berjalan-jalan di museum, jam 11 siang, kami melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta. Beruntunglah kami ketika berbincang dengan petugas keamanan museum, ia menawarkan untuk mengantar kami sampai jalan raya pertigaan Kalijambe, karena angkutan desa agak lama datang dan ojek juga tidak ada. Kemudian dari pertigaan, kami naik bus ¾ (rp 3.000 per orang) ke terminal Tirtohadi. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Dari terminal Tirtohadi, kami naik bus jurusan Jogja (rp 10.000 per orang).

‘Berziarah’ ke Museum Taman Prasasti



Museum Taman Prasasti terletak di Jl. Tanah Abang I Jakarta Pusat. Dahulu, tempat ini merupakan pemakaman umum bernama Kebon Jahe Kober dibangun tahun 1795 untuk menggantikan kuburan lain di samping gereja Nieuw Hollandsche Kerk (Sekarang Mueum Wayang) yang sudah penuh. Pada tanggal 9 Juli 1977, pemakaman Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan dibuka untuk umum dengan koleksi prasasti , nisan, makam sebanyak 1.372 yang terbuat dari batu alam, marmer, dan perunggu.*)

Februari 2009, memasuki areal museum, kami disambut oleh seekor rusa yang baru saja ditinggal mati pasangannya. Museum ini berupa taman berpohon besar rindang, dengan koleksi prasasti, foto-foto, miniatur makam 27 propinsi di Indonesia, peti jenazah Soekarno dan Hatta, serta kereta jenazah antik.




Seluruh mayat di taman makam ini sudah dipindahkan, kecuali makam Kapitan Jas yang tidak bisa dipindahkan karena mayatnya sudah terbelit akar pohon dan akan rusak apabila dikeluarkan. Meskipun bukan lagi berupa pemakaman, namun aura mistis syahdu masih bisa terasa di sini.

Beberapa prasasti yang dapat kita temukan di sini antara lain adalah A.V. Michiels (tokoh militer Belanda pada perang Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran pada zaman pendudukan Belanda), J.H.R. Kohler (tokoh militer Belanda pada perang Aceh), Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura), Kapitan Jas (makamnya diyakini sebagian orang dapat memberikan kesuburan, keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan), Miss Riboet (tokoh opera pada tahun 1930-an), Soe Hok Gie (aktivis pergerakan mahasiswa pada tahun 1960-an). *)

*) http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Taman_Prasasti


Tuesday, July 26, 2011

Ngarai Asa Green Canyon

Green Canyon terletak di Desa Kertayasa, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis, berjarak 31 km dari Pangandaran. Nama Green Canyon dipopulerkan oleh seorang wisatawan Perancis yang pernah berkunjung ke sana, dikarenakan sungai yang diapit oleh tebing-tebing tinggi , airnya berwarna hijau zamrud. Penduduk sekitar mengenal daerah tersebut dengan nama Cukang Taneuh yang artinya jembatan tanah karena terdapat jembatan yang lebar dan panjang menghubungkan antara Desa Kertayasa dengan Desa Batu Karas. Perjalanan dari Jakarta hingga ke Batu Karas dengan mobil pribadi ditempuh selama 5-6 jam, namun yang kami alami adalah 11 jam dikarenakan kemacetan.

Saya dan beberapa teman berkunjung ke sana di saat yang kurang tepat, karena bertepatan dengan long weekend di bulan Juli 2009. Reservasi di Penginapan Teratai yang dilakukan jauh-jauh hari ternyata tetap mengecewakan, karena sesampainya di sana, malam hari, kamar yang sudah kami pesan diberikan kepada pemilik penginapan yang sedang berkunjung ke sana, padahal selama perjalanan kami selalu berhubungan dengan contact person penginapan tersebut. Alhasil dengan tenaga yang tersisa, kami mencari penginapan yang masih tersedia. Namun sayangnya, itu sangat sulit, karena seluruh penginapan penuh. Kami mencari apapun tempat yang bisa digunakan untuk bermalam, dari hotel berbintang di Pangandaran hingga mesjid. Tapi hasilnya nihil. Bahkan mesjidpun tidak bisa dimasuki karena dikunci pada malam hari.

Untungnya, menjelang tengah malam, ketika kami sampai di penginapan The Reef di Batu Karas, secara kebetulan ada satu pengunjung yang akan keluar malam itu. Akhirnya kami menunggu beberapa jam untuk bisa masuk kamar. Kamarnya sederhana, hanya terdiri dari 1 spring bed king size, kipas angin, dan kamar mandi tak berpintu. Udara malam hari di sana ternyata lumayan dingin. Meskipun satu kasur sudah berlima dan tidak ada AC, tak disangka, kami masih kedinginan juga.

Esok subuh, dengan badan kaku (akibat tidur berdempetan dan kedinginan), kami bergegas berangkat ke Green Canyon. Loket pembelian tiket masuk ke Green Canyon dibuka pukul 7 pagi, tapi untuk menghindari keramaian, kami berusaha sampai sana sepagi mungkin. Tiket yang dibeli adalah untuk sewa satu perahu dan tiket masuk perorangan, dengan fasilitas seorang pemandu dan life jacket. Untuk mencapai lokasi canyon, kita menyusuri sungai Cijulang dengan perahu yang disebut ketinting berkapasitas 5 penumpang. Jarak dari dermaga ke lokasi canyon sekitar kurang dari 10 menit. Sepanjang perjalan, kami disuguhi pemandangan yang indah. Air sungai yang berwarna hijau zamrud, kanan kiri terdapat tebing tinggi yang ditumbuhi pepohonan, serta udara yang sangat sejuk.


Akhirnya, tibalah kami di tempat yang menyempit, hingga perahu tidak dapat lagi melewatinya, kami turun dari perahu dan bertengger di bebatuan. Dikarenakan banyaknya pengunjung, kami harus menunggu giliran untuk memasuki kawasan menyerupai gua tempat kami berenang-renang, inilah yang disebut sebagai Green Canyon. Sungai yang mengalir di batasi tebing-tebing tinggi yang mengungkung tempat tersebut menyerupai gua, di penghujungnya terdapat air terjun.


Untuk menyusuri sungai berwarna zamrud tersebut, kami berenang dan terkadang harus memanjat tebingnya.


Di sana juga terdapat spot tebing menjulang setinggi kurang lebih 3 meter untuk tempat loncat. Sungguh indah tempat ini, apalagi ketika kita sambil mengapung melihat pemandangan ke atas , rasanya segala penat telupakan. Tips untuk mengunjungi Green Canyon, datanglah di saat bukan musim hujan, karena saat musim hujan, air sungai tidak berwarna hijau, melainkan coklat dan aliran sungai menjadi deras, cenderung bahaya untuk direnangi.

Setelah menghabiskan waktu selama 2-3 jam, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk beristirahat. Ketika kami kembali ke dermaga, kawasan tersebut sudah penuh, lapangan parkir mobil yang tadi pagi masih lengang, saat itu sudah penuh sesak. Jadi, sangat direkomendasikan untuk datang ke Green Canyon sepagi mungkin untuk menghindari keramaian.

Kami makan siang di salah satu tempat makan di Batu Karas yakni Kang Ayi. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang teman, katanya terkenal dengan pancake pisangnya. Di sana kami juga memesan seafood yang patut untuk dicoba.

Setelah makan siang, kami bertolak ke Pangandaran untuk mencari penginapan di sana. Lagi-lagi seluruh penginapan penuh, akhirnya kami mendapat sebuah kamar sederhana di suatu penginapan yang menyerupai tempat kos. Di depan penginapan, malam hari, terdapat tenda yang menjual sate ayam kampung yang tak disangka-sangka rasanya enak sekali.

Sore harinya, kami mengunjungi cagar alam di ujung pantai Pangandaran, berbentuk pulau. Kawasan ini bisa dicapai dengan perahu hanya berjarak kurang dari 5 menit, ataupun jalan darat. Kami membayar tiket masuk dan diantar berkeliling oleh seorang pemandu.

Di kawasan ini, terdapat goa Jepang yang konon beberapa kali sering dijadikan lokasi syuting adu nyali. Selain itu, terdapat goa alami dengan stalagtit dan stalagmit yang banyak menyerupai berbagai bentuk, seperti nenek lampir, alat kelamin pria dan wanita, dan banyak lagi.

Ada pula beberapa makam keramat yang dipercaya adalah makam keturunan Wali Songo. Sepanjang menyusuri kawasan cagar alam tersebut, kami melihat beberapa hewan liar seperti rusa, kera berlalu lalang dan bersembunyi dari pengunjung.

Malam harinya, kembali kami tidur berdesakan karena tempat tidur yang tersedia hanyalah 2 buah tempat tidur kayu single size. Meskipun banyak pengalaman tidak menyenangkan selama perjalanan, namun tetap tidak mengurangi esensi kenikmatan perjalanan kami.

Kemagisan Langit di Ujung Genteng

Pantai luas, langit superindah, penyu, dan air terjun!!! Semua bisa dilihat di Ujung Genteng. Ujung Genteng terletak di daerah Sukabumi, Jawa Barat, sekitar 200 km dari Jakarta. Nama Ujung Genteng artinya adalah tanah yang paling ujung (‘genteng’ adalah bahasa Sunda dari ‘tanah’). Ada pula yang mengatakan ‘genteng’ berasal dari kata ‘gunting’ karena jika dilihat di peta, Ujung Genteng terletak di daerah paling barat dari Jawa Barat yang tepiannya mirip bentuk gunting, dengan bagian utaranya adalah Ujung Kulon dan bagian selatannya adalah Ujung Genteng. Apapun artinya, bagian ‘ujung’nya adalah yang paling dapat dipercaya mengindikasikan letaknya. Lama perjalanan menggunakan mobil pribadi sekitar 7-8 jam dengan rute: Jakarta – Bogor – Cibadak – Pelabuhan Ratu – Kiara Dua – Jampang Kulon – Surade – Ujung Genteng. Keadaan jalan relatif mulus, meskipun kadang melewati jalanan yang berlubang.

Perjalanan ini dilakukan sekitar bulan Mei 2009, bersama dengan 7 teman lainnya. Kami menginap di Pondok Hexa. Pondok Hexa merupakan penginapan berbentuk bungalow moderen, dengan berbagai tipe dan luas. Fasilitas tiap bungalow ada yang memakai AC, TV, ataupun dapur. Waktu itu kami mengambil 1 kamar berukuran sedang dengan AC dan TV, serta 1 kamar berukuran kecil dengan AC. Listrik penginapan berasal dari generatornya yang menyala 24 jam, namun seringkali mati sebentar lalu menyala lagi. Mengenai detail harga penginapan saya sudah lupa, tapi disarankan untuk melakukan reservasi dari jauh-jauh hari. Penginapan ini mempunyai fasilitas restoran juga, yang saya rekomendasikan adalah menu seafoodnya. Untuk menu lainnya, sebaiknya tidak usah terlalu menaruh banyak harapan.

Meskipun terdapat beberapa penginapan, namun kawasan Ujung Genteng masih terbilang sepi sehingga masih sangat enak untuk dijadikan tempat berlibur yang tenang. Untuk menjelajahi pantai-pantainya, kami menyewa rombongan remaja lokal yang menjadi ojek dadakan untuk sehari penuh, karena medan yang harus ditempuh cukup sulit untuk dilalui mobil biasa. Sepanjang perjalanan, melewati semak-semak (sebaiknya memakai celana panjang karena akan banyak besetan semak-semak), pantai yang surut, jalanan yang berbatu, dan lumpur.

Seperti pantai selatan lainnya, Ujung Genteng juga memiliki karakter pantai yang bergaris panjang, dengan ombak yang besar, cocok untuk surfing. Pantai yang paling enak untuk bersantai-santai adalah Pantai Panarikan karena merupakan pantai yang paling luas dengan pasirnya yang lembut dan putih.

Yang paling cantik adalah langitnya ketika matahari terbenam. Wow! Warna jingga, ungu, biru, kemerahan bercampur menjadi satu seperti campuran warna yang dihasilkan dengan finger painting. Sangat magis!

Selain pantai, ada pula tempat pengembangbiakan penyu hijau di Pantai Pangumbahan. Di sana kita bisa melihat telur-telur penyu dan tukik (anak penyu yang baru menetas). Pada siang hari, kami tidak mengunjungi balai pengembangbiakan tersebut dikarenakan keterbatasan waktu. Namun malam harinya, kami melihat proses penyu dewasa bertelur di pantai. Penyu betina dewasa pada malam hari di tanggal-tanggal tertentu naik ke pantai dan bertelur. Untuk melihat prosesnya, kita dilarang menimbulkan suara keras dan menyalakan lampu apapun, karena akan merusak navigasi penyu untuk mencari spot yang menurutnya aman untuk bertelur. Kami baru pertama kali melihat perjuangan penyu bertelur. Penyu keluar dari laut berjalan ke pasir pantai, berputar-putar mencari tempat yang menurutnya tepat, kemudian mulai menggali lubang di pasir, dan bertelur. Sekali bertelur, penyu bisa menghasilkan puluhan telur, setelahnya, dengan tenaga yang tersisa, penyu kembali lagi ke laut. Yang jangan sampai dilewatkan adalah pemandangan langit malam hari di sana. Saya baru kali itu menyaksikan jutaan bintang bertaburan gemerlapan di langit; Seperti kerumunan kerajaan peri bercahaya! Bahkan saya menyaksikan bintang jatuh sebanyak dua kali di sana! Rasanya benar-benar melebihi saat menyaksikan planetarium!


Pagi hari sebelum pulang ke Jakarta, dipandu oleh salah satu ojek yang kemarin kami sewa, kami mengunjungi Curug (air terjun) Cikaso dengan mobil. Lama perjalanan sekitar 20 menit dari penginapan. Sampai di sana, kami diantar oleh seorang pemandu yang usianya masih belasan tahun. Untuk menuju lokasi air terjun, kami harus naik perahu melewati sungai yang airnya berwarna hijau toska dan dingin. Air terjunnya sangat indah! Sesaat seperti gambaran di surga, bila saya tidak berlebihan.

Kolam yang dibentuk air terjun berwarna hijau jernih, sangat menggiurkan untuk direnangi. Namun sayangnya, kami tidak berenang di sana dikarenakan persediaan baju ganti sudah habis. Saat berada di sana, disarankan untuk membawa baju ganti dan memakai sandal yang tidak licin karena akan melewati bebatuan yang licin.

Setelah puas bermain dan berfoto, kami bertolak ke Jakarta. Sungguh keajaiban langit Ujung Genteng dan kedamaian suasananya masih menorehkan kerinduan di memori saya.

*Foto ke-7 dan ke-8 oleh Dimas Apriano