Kami sampai di Jogja sekitar pukul setengah satu siang, turun di P.O. bus Sumber Alam untuk membeli tiket pulang (AC, non toilet, rp 110.000) nantinya ke Jakarta. Setelah itu, menuju ke Pasar Kembang dengan bus ¾ (rp 2.500 per orang). Sesampainya di Pasar Kembang, kami langsung menuju kios-kios penyewaan motor yang berderet sepanjang jalan. Kami memilih Ana Rental berdasarkan rekomendasi yang banyak saya baca di blog dan forum di internet. Kami menyewa motor bebek, yang cocok untuk medan perjalanan daerah pegunungan, untuk 2 hari, seharga rp 50.000 per hari.
Untuk mengejar waktu, kami langsung menuju ke Hotel Puspita di Jl. Mayjend Sutoyo No. 64 (telp. +62 274 371065) yang telah kami pesan lewat telepon sebelumnya untuk 2 malam (rp 75.000 per malam, 2 single bed dengan kipas angin, kamar mandi dalam). Letak hotel cukup strategis, hanya sekitar 10 menit dari Pasar Kembang, dengan suasana relatif sepi, sehingga lebih nyaman untuk beristirahat. Bangunan hotel berupa rumah Joglo bercat hijau muda terang, bertambah asri ketika kita masuk ke dalamnya, terdapat pepohonan rindang di tengah bangunan. Kamarnya memang sederhana, namun bersih. Ketika kami datang, teh manis hangat segera disuguhkan. Setelah check in, kami bergegas menaruh ransel yang mulai terasa membebani pundak, lalu siap melanjutkan perjalanan kembali.
Tujuan berikutnya adalah Candi Prambanan yang ditempuh selama 30 menit dengan motor. Sebelum sampai di tujuan, kami menyempatkan untuk makan di sebuah warung makan yang kami lewati, karena sudah hampir jam 3 tapi perut belum diisi sama sekali. Kami memesan soto ayam tanpa berharap apapun mengenai rasanya. Namun, tak disangka-sangka, sotonya enak sekali! Masing-masing kami sampai menghabiskan 2 mangkuk. Dan lebih mencengangkannya lagi, 4 mangkuk soto plus kerupuk serta teh manis hanya menghabiskan rp 12.000! Hal ini tidak akan terjadi kalau saya makan di Jakarta! Setelah energi kami terisi kembali, perjalanan menuju Prambanan dilanjutkan.

Saya pribadi sangat menyukai arsitektur candi Hindu yang karakternya menurut saya lebih feminin dan cantik. Di kompleks Candi Prambanan, terdapat 8 candi utama dan 250 candi kecil. Salah satu candi utamanya yang terkenal adalah Loro Jonggrang. Relief yang terpahat di candi menggambarkan wiracarita Ramayana. Selain itu, terdapat pula museum yang menyimpan benda bersejarah.
Karena hari sudah menjelang senja, kami tidak memasuki museum, dan melanjutkan perjalanan kami yang terakhir di hari ini, yakni Situs Ratu Boko yang berjarak hanya 3 km dari Prambanan.

Situs Ratu Boko keberadaan awal dan fungsi pastinya masih belum diketahui. Namun, menurut perkiraan para ahli, bangunan tersebut berdiri pada abad ke-8 M pada jaman dinasti Syailendra. Pada awalnya, bangunan ini digunakan oleh para pendeta Buddha untuk beribadah. Kemudian pada abad ke-9 M, berubah fungsi menjadi kediaman Raka Walainh Pu Khumbayoni yang beragama Hindu, menjadikan tempat tersebut berupa keraton/istana. Dapat dilihat dari sisa peninggalan sejarah di situs ini berupa gerbang masuk, pendopo, hingga kolam pemandian dan gua-guanya khas kerajaan Hindu, serta ada pula beberapa arca dan stupa Buddha. Nama Ratu Boko sendiri berasal dari legenda masyarakat setempat (Ratu Boko artinya ‘raja bangau’) yang dipercaya sebagai ayah dari Loro Jonggrang.
Memasuki Situs Ratu Boko, kita harus membayar tiket sebesar rp 10.000 per orang. Situs ini terletak di puncak bukit, untuk mencapainya, kita bisa menaiki anak-anak tangga yang tersedia. Dari titik ini, kita bisa melihat pemandangan kota Jogja dan Gunung Merapi. Menyaksikan cantiknya matahari terbenam dari puncak perbukitan disertai aura sejarah yang sangat kental, sungguh perasaan kagum yang tak ternilai.

Begitu matahari terbenam seluruhnya, kami kembali ke hotel untuk mandi dan beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari kuliner khas Jogja yang terkenal: Sate Klathak. Penjual Sate Klathak banyak terdapat di daerah Pasar Jejeran, Imogiri. Berdasarkan rekomendasi dari beberapa orang, salah satu yang enak adalah Warung Sate Pak Jito. Agak sulit mencari letak warungnya dikarenakan minimnya penerangan jalan di malam hari.
Sampailah kami di warung sederhana milik Pak Jito. Kami memesan Sate Klathak (rp 10.000 per porsi) dan teh manis hangat (tampaknya teh manis adalah minuman ‘resmi’ di Jogja). Pembuatan sate terasa lebih lama dibandingkan dengan sate pada umumnya. Sate Klathak adalah potongan tebal daging kambing yang hanya diberi garam, kemudian ditusuk memakai jeruji sepeda ontel (karena lebih kuat dibandingkan tusuk bambu), lalu dibakar. Disajikannya tanpa bumbu apapun dan sudah dalam keadaan terlepas dari tusuknya. Saya pribadi tidak cocok dengan rasanya yang terlalu amis khas kambing. Namun, bagi penggemar sejati masakan kambing, mungkin menggemarinya.
Hari kedua di Jogja, jam 5.30 pagi kami sudah berangkat ke Borobudur (jam buka: 06.00-17.00). Perjalanan ditempuh selama kurang dari 1 jam. Udara pagi dan lengangnya jalanan berbukit-bukit sungguh menyegarkan. Begitu sampai di sana, kami menyempatkan diri untuk sarapan di salah satu warung makan yang banyak terdapat di pelataran pintu masuk kompleks candi.


Tak perlu waktu lama bagi kami memutari Candi Mendut, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Ullen Sentalu (Jam buka: 09.00-16.00) yang berada di Kaliurang. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh, perlu waktu sekitar 1 jam untuk sampai di tempat. Namun, dengan medan jalan berupa pegunungan, kelelahan fisik dapat berkurang sedikit. Memasuki kawasan Kaliurang, kita diwajibkan membayar retribusi (rp 3.000 per orang dan rp 500 untuk kendaraan motor roda 2).

Museum Ullen Sentalu adalah museum swasta yang diresmikan tahun 1997, terletak di Jl. Boyong, Kaliurang. Dengan tiket masuk rp 25.000 per orang, kita dapat menikmati museum cantik yang menyajikan kebudayaan Jawa dengan konsep yang lebih hidup ini. Untuk memasuki museum, pengunjung dibatasi per rombongan (sekitar 10 orang) tiap masuk, yang kemudian akan diantar oleh seorang pemandu. Hal ini demi kenyamanan pengunjung selama menikmati museum dan juga untuk efektivitas penyampaian pesan oleh pemandu museum.

Setelah diajak berkeliling, para tamu disuguhi minuman tradisional kegemaran ratu kasunan yang dipercaya mempunyai khasiat awet muda. Yang saya rasakan hanyalah air jahe manis hangat biasa. Setelahnya, pengunjung dipersilakan untuk menikmati areal sekitar museum. Di sekitarnya, banyak terdapat patung yang memadukan gaya gothic dan budaya Jawa.
Kami mencicipi hidangan di restoran Beukenhof yang terdapat di tingkat atas suatu bangunan bergaya kolonial Belanda. Hidangan yang ditawarkan adalah perpaduan Belanda dan Jawa. Kami memesan menu steak dengan harga yang relatif murah untuk sebuah restoran sekelasnya, rasanya pun cukup lezat. Total makan siang kami rp 118.000.

Selesai makan, perjalanan kami lanjutkan ke Taman Sari (Jl. Taman, Kraton, Jogja, jam buka: 09.00-15.30), dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Kami sampai di sana tepat ketika loket museum akan tutup (tiket masuk rp 2.000 per orang). Hari itu Taman Sari ramai sekali, selain para pengunjung yang datang, di sana sedang ada syuting FTV. Cukup disesalkan syuting tersebut mengambil waktu saat hari libur, menyebabkan pengunjung menjadi tidak leluasa untuk mengeksplor situs dikarenakan dipakai untuk kebutuhan syuting.

Taman Sari dahulu merupakan taman istana keraton Jogjakarta yang dibangun saat pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Meskipun keadaannya saat ini cukup memprihatinkan, namun bangunan berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah tanah, masih menyisakan kecantikannya.

Selain kondisi bangunan yang kurang terawat, banyaknya remaja-remaja yang nongkrong dan berpacaran terasa cukup mengganggu pengunjung yang bertujuan menikmati peninggalan bersejarah ini. Selain itu, perlu adanya penertiban warga lokal yang memaksa menjadi pemandu situs. Kami memutuskan untuk berkeliling sendiri, dan berbincang dengan bocah penduduk yang sedang bermain di sekitar situs. Bocah-bocah itu dengan semangat memberikan info kepada kami, salah satunya menunjukkan jalan masuk ke lorong bawah tanah yang agak tersembunyi.

Ketika hari sudah semakin sore, kami meninggalkan Taman Sari dan berputar-putar kota Jogja untuk membeli oleh-oleh. Malam harinya, kami kembali mencoba kuliner khas Jogja: Oseng-Oseng Mercon. Salah satu yang paling direkomendasikan adalah Oseng-Oseng Mercon Bu Narti di Jl. K.H. Ahmad Dahlan (di depan toko Bumi Asih). Hanya dengan rp 6.000 seporsi, kita bisa menikmati dahsyatnya kepedasan oseng daging dan jeroan. Saya sebagai pecinta makanan pedas, sangat suka masakan ini.
Dengan sisa-sisa lidah yang terbakar cabai, kami beranjak dari warung Bu Narti menuju ke Malioboro untuk melihat-lihat suasana. Saya kurang suka di sana karena terlalu ramai dan sesak. Di sana kami bertemu dengan rombongan teman yang kebetulan sedang berkunjung ke Jogja juga. Mereka mengunjungi daerah pantai-pantai di Jogja yang awalnya ada di rencana perjalanan saya, namun karena keterbatasan waktu, terpaksa saya eliminasi.
Dari Malioboro, kami ke Pasar Kembang untuk mengembalikan motor sewaan. Setelah itu, kami kembali ke penginapan dengan becak. Menikmati kota Jogja di malam hari di atas becak=priceless. Dan dengan demikian, berakhirlah petualangan ziarah sejarah kami di Sangiran dan Jogja. Kuatnya pikatan Jogja membuat kami berjanji akan kembali lagi ke sana.
2 comments:
"Priceless"
Keren nia foto-fotonya n Reportnya.. ga nyangka :D
Post a Comment